Meski pendaratan pertama bangsa Portugis ke tanah Jawa bermula pada abad ke 12, di Pelabuhan Marunda – Sunda Kelapa.
Tetapi, mereka membawa cikal-bakal Keroncong pada abad ke 16, pada
saat masuknya Belanda ke Indonesia dan menguasai Malaka (Ade Soekino,
1995, Pangeran Jayakarta: 2).
Pada abad ke 16 inilah, bangsa Portugis membawa pengaruh fado ke Indonesia. Fado merupakan tradisi tutur dalam bermusik di Portugis. Biasanya mengenai perjalanan mengarungi lautan, kemiskinan dan kesedihan.
Berawal dari jatuhnya Malaka dari Portugis ke tangan Belanda pada
tahun 1648, budaya bermusik dari Portugis dibawa oleh para turunan Moor,
Bengali, Malabar dan Goa (India), mereka adalah budak-budak Portugis,
yang banyak berasal dari Maluku yang ditawan di Batavia pada masa itu. P
ada tahun 1661 mereka dibebaskan, pada tahun itu dimukimkan di
sekitar rawa-rawa daerah Cilincing, atau Kampoeng Toegoe. Mata
pencaharian mereka adalah bertani dan berburu, di waktu-waktu senggang
mereka memainkan musik dan bernyanyi dengan khas berirama lambat
diiringi rajao (gitar kecil berdawai lima), biola, gitar, cello, dua jenis ukulele (cak dan cuk), rebana dan suling.
Bisa dibilang, bahwa catatan awal mengenai sejarah lahir dan
berkembangnya keroncong, adalah hasil percampuran budaya bermusik para
budak yang dibawa Portugis dan budaya Indonesia.
Percampuran budaya bermusik ini, awalnya disebut moresco. Moresco/Moresko merupakan
musik dengan tarian dari bangsa atau kaum Moor/Moorish (kaum muslim
berasal dari Moro, yakni orang kulit hitam yang berasal dari Pantai
Utara Afrika) yang tinggal di Portugis.
Tarian Moresko sendiri sudah melekat sejak 500 tahun yang lalu
(Ensiklopedi Jakarta, Culture & Heritage, Hal. 135). Ada pula lafal
lain yakni Morisca, namun Morisca lebih cenderung untuk menyebut nama
jenis gitar yang ada pada kaum Moorish ini, yakni gitar berbentuk oval
dan memiliki banyak lubang (sebab, alat musik ini membawa pengaruh
Arabia yang berasal dari kaum Moorish yang berketurunan Arab).
Kaum Moor ini masuk di benua Eropa pada abad 15, dan masuk ke
Indonesia pada abad 16 lewat bangsa Portugis. Aslinya musik Kaum Moor
bernama Moresco ini dimainkan untuk mengiringi tarian anggar antara
hulubalang Kristen dan hulubalang Muslim dengan irama ‘tripel’,
cenderung ‘mars’ (Remy Sylado, 2005, 9 Oktober 1740: 189)
Dan dalam kenyataannya, awalnya Moresco adalah tarian yang
menceritakan tentang Perang Salib antara Muslim dan Nasrani pada budaya
bangsa Moor/Moro sendiri.
Pada abad ke 19 musik ini berubah secara pelafalannya sesuai lidah
orang Indonesia, menjadi Keroncong. Alasannya sederhana, “Karena musik
ini berbunyi creng-crong.”
Ada pula yang menyebutkan bahwa asal mula nama Keroncong berasal dari
suara kerincing Rebana. Pendapat masyarakat ini bisa benar, bisa juga
tidak.
Dalam buku Ensiklopedi Jakarta mengenai Keroncong menyebutkan bahwa
asal mula ‘keroncong’ berasal dari Bahasa Portugis yakni jukulele
(ukulele) dalam Bahasa Portugis disebut dengan nama croucho, yang
artinya kecil (untuk menyebut ukulele sebagai gitar dengan ukuran
kecil).
Keunikan Keroncong salah satunya adalah dari bunyi cak, cuk dan cello. Cak dan cuk-lah khas dari Keroncong ini dengan suara creng-crongnya, cak dan cuk pula yang merupakan evolusi dari croucho ini.
Lalu khas keroncong pun ditambah dengan cello 3 senar gut-nya, dimainkan oleh orang Indonesia dengan cara dipetik, tidak digesek seperti biola, konon mengapa cello dipetik karena orang Indonesia tidak mengerti cara memainkan cello, walaupun pada kenyataannya cello pun bisa dimainkan dengan dipetik.
Alat-alat musik yang disebutkan tadi berbaur dengan budaya lokal
Indonesia, selain dimainkan dengan biola dan sebagainya, biasanya musik
ini dimainkan dengan sitar dan gamelan lalu dinyanyikan dengan lagu-lagu
bernuansa tradisional Jawa yakni Langgam Jawa.
Dengan kata lain Keroncong berbaur menjadi musik folk baru di Indonesia atau “mempribumikan” musik ini dengan menambahkan unsur tradisional Indonesia.
Selain Langgam Jawa, Keroncong pun memakai alat musik seperti: sitar India, rebab, suling bambu, gendang, kenong, dan saron.
Sejarah Keroncong di Kampung Tugu dan Kampung Bandan (Kampung Bandan sekarang adalah Kecamatan Pademangan di Tanjung Priok).
Sekitar tahun 1610 Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen mengalahkan
Pangeran Jayakarta dan tahun 1621 menaklukkan Pulau Banda,
tawanan-tawanan asal Pulau Banda ini adalah dijadikan budak lalu dikirim
ke Kampung Tugu dan Kampung Brandan di Batavia, di kawasan itu terkenal
sebagai tempat penampungan budak-budak asal Maluku dari Pulau Banda
(Muhadjir, 2000, Bahasa Betawi : Sejarah dan Perkembangannya: 44).
Lagu keroncong Portugis atau Keroncong Moresco yang pertama populer
di masa itu adalah Prounga. Lagu ini sangat disenangi penduduk Kampung
Bandan, jenis Keroncong seperti Prounga ini akhirnya disebut sebagai
Keroncong Bandan. Prounga adalah jenis Keroncong rohani yang biasa
dinyanyikan di Gereja saat itu.
Pada tahun 1673, mereka para keturunan Portugis ini berpindah ke
daerah Cilincing. Di sana mereka mendirikan Gereja Tugu, sesuai nama
kampungnya Kampung Tugu.
Dari sanalah kita kini mengenal kesenian musik yang bernama Keroncong
Tugu. Lagu-lagu Keroncong pada saat itu di antaranya: Keroncong Tugu,
Keroncong Kaparino dan Nina Bobo (Muhadjir, 2000, Bahasa Betawi :
Sejarah dan Perkembangannya: 45).
Dalam catatan yang ada di Wikipedia.org, modernisasi Keroncong
bermula pada 1960-an, Keroncong disulap menjadi tradisi populer kaum
muda-mudi di Indonesia.
Musik ini dikawinkan dengan alat musik modern seperti gitar elektrik, keyboard dan drum.
Modernisasi Keroncong era 1960-an ini di Indonesia dan Belanda sendiri
sudah tidak asing lagi dengan nama Wieteke Van Dort yang membawakan
Keroncong dengan gaya modern, salah satu lagunya yang terkenal adalah Geef Mij Maar Nasi Goreng.
Adaptasi Keroncong dengan Langgam Jawa, berkembang pesat pada tahun
1950an. Penyanyi Keroncong dengan Langgam Jawa yang terkenal di tahun
itu seperti Waldjinah.
Langgam Jawa ini khas memakai sitar, saron dan kendang. Biasanya bila kendang tidak tersedia peran cello
menggantikan peranan suara kendang dalam Langgam Jawa. Di hari ini,
keroncong, masih tetap lestari. Baik masih menjadi tontonan yang
berkelas di gedung-gedung pertunjukan atau pun di jalanan